KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan
kehadirat Allah SWT karena atas nikmat iman dan islam-Nyalah kita masih
merasakan nikmatnya kehidupan ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada
jungjungan kita The Leader of Moeslim Muhammad
saw, kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada kita sekalian selaku umatnya
yang setia sampai akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penyusun ingin
mengucapkan banyak terima kasih bagi pihak-pihak yang telah membantu penyusun
dalam penyusunan makalah ini. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Allah
SWT,
yang telah memberikan taufik, rahmat dan hidayahnya kepada penyusun sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
2.
Kedua
orang tua Penyusun, yang telah memberikan dukungan baik
moril maupun materil kepada penyusun.
3.
Sulaeman, M.Ag
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan makalah
ini.
Gajah
mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang.
Itulah pribahasa yang kiranya dapat mewakili harapan penyusun dalam makalah
ini. Secercah harapan yang penyusun siratkan dalam makalah ini adalah semoga
makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, manjadi amal baik bagi penyusun,
menjadi motivator bagi mahasiswa lainnya untuk menyusun makalah yang lebih baik
lagi serta semoga menjadi buah yang manis kelak.
Tidak
ada gading yang tak retak, begitu pula dengan karya yang
penyusun buat ini. Maka dari itu penyusun menantikan saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak agar penyusun dapat mengoreksi kesalahan tersebut
dan sebagai bahan pembelajaran bagi penyusun dimasa yang akan datang.
Wassalamualaikum Wr.
Wb.
Kuningan, 24 Maret 2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR
ISI................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah....................................................................................
C.
Tujuan Yang Ingin Dicapai......................................................................
D.
Metode Yang Digunakan........................................................................
E.
Sistematika Penulisan..............................................................................
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Asy’ariyah dan Maturidiyah.......................................................
1.
Latar Belakang Asy’ariyah .............................................................. 6
2. Latar Belakang Maturidiyah ............................................................. 13
B.
Teologi
Asy’ariyah dan Maturidiyah.......................................................
1.
Teologi Asy’ariyah............................................................................. 17
2.
Teologi Maturidiyah.......................................................................... 24
C.
Persamaan dan
Perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
1.
Pandangan Mengenai Asy’ariyah dan Maturidiyah ......................... 31
2.
Persamaan dan Perbedan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah ......... 31
BAB
III PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................... 34
B. Kritik dan Saran....................................................................................... 34
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................. 35
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah kajian atau
kritikan terhadap teologi yang berkembang bukanlah usaha untuk menghilangkan
subtansi atau membongkar total terhadap pemikiran-pemikiran yang sudah dibangun
oleh para teologi yang berkembang di zamannya, namun untuk melihat kembali
apakah pemikiran tersebut masih relevan di kembangkan padazaman sekarang yang
penuh dengan berbagai macam krakteristik dan dinamika pemikiran atau pemikiran tersebut
perlu dikonstruksi sehingga mampu berdaptasid engan kehidupan modern, disamping
itu dapat mengkomparasikan antara beberapa pemikiran para teolog yang berbeda
dalam metodelogi objektifitas dan kemampuan dalam memahami kebenaran/hakekat.
Kajian terhadap teologi Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah disini tidak dimaksudkan
untuk meninggalkan aspek-aspek positif dalam teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah
dari praktek keagamaan umat Islam seluruhnya atau sebagiannya, namun yang diinginkan
dalam wacana ini adalah mencoba mengkaji kebenaran dan keabsahan konsepteologi
ini sebagai landasan berfikir dan beramal umat Islam di masa kini dan
mendatang.
Penulis mengutip pandangan Nur Kholis Majid tentang Akidah (teologi As’ariyah). “Yang dimaksud akidah, itu apa sih? Istilah
itu tidak ada dalam al-Qur’an,. Akidah itu artinya ikatan, sampul iman yang
dirumuskan dan diturunkan dalam ilmu kalam, Ushul al-Dinatau ilmu Tauhid. Dan
itu merupakan hasil presepsi sejarah, Taruhlah akidah yang sangat domenan saat
ini, akidah Asy’ari, Misalnya sifat dua puluh (wujud, kidam, baqo’dan
seterusnya) itu adalah hasil kreasi kaum Asy’ariyah sebagai respon terhadap
bahaya banjirnya Hellenisme. Tapi sebagai mana Al-Attas dalam menghadapi barat,
Asy’ari juga menyerang Hellinisme dengan menggunakan falsafat Hellenisme .Dan
untuk itu, Asy’ari berjasa. Akidah Asy’ariyah itu otentik, meskipun perlu di
pertanyakan relevansinya untuk saat ini”.
Pandangan seorang tokoh
tersebut dapat dilihat, Bahwat idak menutup kemungkinan ajaran-ajaran yang
sudah tersebar dan mendarah daging di masyarakat, serta dijadikan idiologi
paten yang tidak boleh di otak-atik, masih ada yang perlu dikritisi dan
dirubah, karena banyak pendapat yang juga perlu di pertanyakan keontetikannya, karena
tidak sesuai dengan Naqli ataupun Aqli, hal ini bertujuan untuk mengkaji sejauh
mana relevansi doktrin Asy’ariyah dan Maturidiyah terhadap kehidupan umat.
B. Rumusan Masalah
Salah satu ciri manusia hidup adalah dengan adanya masalah. Penulis tidak
mengedepankan perbedaan melainkan mencoba memberikan penjelasan yang seobjektif
mungkin terhadap aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Penjelasan yang penyusun
sampaikan dalam makalah ini berdasarkan rumusan masalah yang telah penyususn
kaji. Adapun rumusan masalah yang ingin penyusun sajikan dalam makalah ini
adalah:
1.
Sejarah Asy’ariyah dan Maturidiyah
- Teologi yang terdapat dalam Asy’ariyah dan Maturidiyah
- Definisi Asy’ariyah dan Maturidiyah
- Perbedaan Asy’ariyah dan Maturidiyah
C. Tujuan yang
Ingin di Capai
Adapun Tujuan penulis
dalam penulisan karya tulis ini adalah
1. Sebagai salah satu tugas
Persentasi Kelompok Mata
Pelajaran Filasafat Islam semester II Prodi PGMI/PGSD dan
2. Mengetahui Latar Belakang, Teologi, serta Persamaan dan
Perbedaan Asy’ariyah dan Maturidiyah
D. Metode yang di
Gunakan
Metode
deskriftif dengan teknik study kepustakaan atau literature, yaitu pengetahuan
yang bersumber dari beberapa media tulis baik berupa buku, litelatur dan media
lainnya yang tentu ada kaitannya masalah-masalah yang di bahas di dalam Karya
tulis ini.
E. Sistematika
Penulisan
Sistematika penyusunan
makalah ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yang selanjutnya dijabarkan
sebagai berikut :
Bagaian kesatu adalah
pendahuluan. Dalam bagian ini penyusun memeparkan beberapa Pokok permasalahan
awal yang berhubungan erat dengan permasalah utama. Pada bagian pendahuluan ini
di paparkan tentang latar belakang masalah batasan, dan rumusan masalah, tujuan
penulisan makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bagian Kedua yaitu
pembahasan. Pada bagian ini merupakan bagaian utama yang hendak dikaji dalam
proses penyusunan makalah. Penyususn berusaha untuk mendeskripsikan berbagai
temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber/bahan.
Bagian ketiga yaitu
Kesimpulan. Pada Kesempatan ini penyusun berusaha untuk mengemukakan terhadap
semua permasalahan-permasalahan yang dikemukakan oleh penyusun dalam perumusan
masalah.
BAB
II
PENDAHULUAN
A.
Sejarah
Asy’ariyah dan Maturidiyah
1.
Latar
Belakang Asy’ariyah
a)
Sejarah
Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu firqah yang
dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu. Nama asli
beliau adalah `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin
Salim bin Isma`il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al
Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy`ary. Dilahirkan pada tahun
260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu
berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al
Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu`tazilah, al Qaramithah
dan lain sebagainya. Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya
menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau
(Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan
banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf
bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya
sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.
Abu al Hasan al Asy`ary dan Mu`tazilah
Pada mulanya, selama
hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu`tazilah yang setia mengikuti
gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah
Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits
Rasulullah, beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah
dialog yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh
Abu `Ali al Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau
secara tegas keluar dari Mu`tazilah.
Inti ajaran faham
Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang qath`i dan
sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya
maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran Al-Qur`an apalagi as Sunnah yang tidak
sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap
mu`jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir.
Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan
firman Allah:
( `s9ur yÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxÏö7s? ÇÏËÈ
|
||
Artinya
|
:
|
dan
kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah (Q.S
Al-Ahzab : 62)
|
`s9ur yÅgrB ÏM¨YÝ¡Ï9 «!$# ¸xÈqøtrB ÇÍÌÈ
|
||
Artinya
|
:
|
dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (Q.S. Fathir : 43)
|
sp¨Zß «!$# ÓÉL©9$# ôs% ôMn=yz `ÏB ã@ö6s% ( `s9ur yÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxÏö7s? ÇËÌÈ
|
||
Artinya
|
:
|
kamu sekali-kali tiada akan menemukan
peubahan bagi sunnatullah itu. (Q.S. Al-Fath : 23)
|
Itulah sebabnya mereka
tidak percaya adanya mu`jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka
bila benar ada mu`jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu
pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur`an dan
as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa:
4 ¨bÎ) y7/u ×A$¨èsù $yJÏj9 ßÌã ÇÊÉÐÈ
|
||
Artinya
|
:
|
Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa
yang dia kehendaki. (Q.S. Huud : 107)
|
Untuk kehidupan manusia
Allah telah memberikan hukum yang dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap.
Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta
yang Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia
jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam
mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi
kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada,
menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan
Allah dapat dinilai secara rasional ?
Salah
satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalah mengenai,
apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta`lilkan atau tidak.
Faham Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita`lilkan dan
diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini
dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba`i:
A :“Bagaimana kedudukan orang mukmin dan
orang kafir menurut tuan?”
B :“Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di
dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka”.
A :“Bagaimana dengan anak kecil?”
B :“Anak kecil tidak akan masuk neraka”.
A :“Dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat
yang tinggi seperti orang mukmin?”
B :“Tidak, karena tidak pernah berbuat
baik”.
A :“Kalau demikian anak kecil itu akan
memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan”.
B :“Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan
engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau
tidak akan selamat[i][ii]”.
A :“Kalau demikian, orang kafir pun akan
protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar
selamat dari neraka”.
Abu
Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat
diandalkan.Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar
kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih
dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.
Abu al Hasan
al Asy`ary Pencetus Faham Asy`ariyah
Namun
karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu`tazilah, pada mulanya cetusan
pendapat Abu Al-Hasan sedikit banya dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan
seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau hadapi adalah
kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka usaha beliau untuk koreksi
terhadap Mu`tazilah juga berusaha dengan memberikan jawaban yang rasional.
Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan dalil-dalil dari Al Qur`an atau As
Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat ketika beliau membahas tentang
sifat Allah dalam beberapa hal beliau masih menta`wilkan sebagiannya. Beliau
menyampaikan pendapatnya tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.
Pada
mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy`ary dalam bidang aqidah menurut pengakuan
secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al
Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Namun dalam
prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql. Misalnya dalam menetapkan dua
puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib,
kemudian berkembang dalam menyimpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua
belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan
Dua puluh Sifat Allah (7 sifat hakiki, 13 sifat majazi). Penetapan sifat hakiki
dan majazi adalah berdasarkan rasio.
Penetapan
tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti
meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun
bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami`un bi sam`in, basyirun bi basharin,
mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas
sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau
menyamakan Allah dengan makhluk.
Ketika
ditanyakan: “Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu
secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk?” Jawabannya:
“Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah SWT
mempunyai arti `maha` sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa”. Hal
inilah yang menjadi bahan pertentangan dikemudian hari.
Abu Al Hasan
Al Asy`ary kembali ke Salaf
Pada
akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al Barbahari (wafat
329 H), Abul Hasan Al Asy`ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah
terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat.
Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai menulis buku Al Ibanah fi Ushul
Al-Diyanah merupakan buku terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada
faham Islam sesuai dengan tununan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas
secara luas di kalangan umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau
sebelumnya.
Untuk
mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah
beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian lebih dikenal dengan
Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama`ah, beliau merumuskannya dalam tiga kaidah
sebagai berikut:
a) Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat
memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja
dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika
akal bertentangan dengan wahyu.
b) Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang
bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya
hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.
c) Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib
didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh
mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.
Adapun
manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:
a) Menafsirkan ayat dengan ayat.
b) Menafsirkan ayat dengan hadits
c) Menafsirkan ayat dengan ijma`.
d) Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta`wilkan kacuali
ada dalil.
e) Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab,
untuk itu dalam memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa
Arab.
f) Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari
ayat tersebut
g) Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang
khusus, kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.
Banyak
sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy`ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun
320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang
ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir
ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah.
b)
Tokoh-tokoh Asy’ariyah dan Ajaran-Ajarannya.
1) Muhammad Ibn al-Thayyib
Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh
Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari,
yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad
pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya
tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu
bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham
dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan
manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani,
manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang
diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk
atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya
mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan
dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam
al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode
yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti
dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui
berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan
konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.
2) Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan
tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak
begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan
Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan
ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan
Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud
Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan
berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan
manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada
pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang
terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya
yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud
sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya
hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3) Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid
dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi.
Paham teologi yang
dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan
mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak
diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai
impotensi.
Selanjutnya ia
menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat
dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham
keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga
kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah
atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh
memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
2.
Latar belakang Maturidiyah
a) Sejarah
Maturidiyah
Berdirinya
aliran ini kembali kepada Abu Mansur al-Maturidi, dia adalah Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi. Maturidi adalah nisbat kepada
Maturid, sebuah tempat di Samarkand, di daerah inilah Abu Mansur lahir, tahun
kelahirannya samar, tidak diketahui dengan pasti. Ahli sejarah yang menyebutkan
biografinya tidak menjelaskan kehidupannya, bagaimana dia tumbuh dan dari siapa
dia belajar, yang diketahui dari guru-gurunya adalah Nashir atau Nushair bin
Yahya al-Balakhi, dari orang ini Abu Mansur belajar fikih madzhab Hanafi dan
ilmu kalam.
Abu
Mansur memiliki kedudukan tinggi di kalangan para pengikut Maturidiyah sehingga
mereka menjulukinya dengan “Imam al-Huda dan Imam al-Mutakallimin”.
Abu
Mansur hidup satu masa dengan Abul Hasan al-Asy’ari meskipun tidak ada
keterangan sejarah bahwa keduanya pernah bertemu atau saling membaca buku yang
lain, hanya saja dalam beberapa hasil pemikiran kedua orang ini bertemu, tentu
dengan pemikiran Abu Musa yang lama sebelum dia rujuk kepada pemikiran salaf
shalih.
Abu
Mansur wafat di Samarkand pada tahun 333 H dan dimakamkan di sana. Dia
meninggalkan beberapa karya tulis diantarnya, Ta’wilat Ahlus Sunnah atau
Ta’wilat al-Qur`an, dalam bukunya ini Abu Mansur mengangkat ayat-ayat
al-Qur`an khususnya ayat-ayat sifat dan mentakwilkannya dengan takwil Jahmiyah.
Di antara bukunya yang lain adalah Kitab Tauhid, kitab ini tentang ilmu
kalam, di dalamnya dia menetapkan pendapat-pendapatnya yang berkaitan dengan
masalah-masalah i’tiqadiyah, dan yang dia maksud dengan tauhid dalam
kitabnya ini adalah tauhid Khaliqiyah dan Rububiyah ditambah dengan
sedikit tauhid Asma’ wa Sifat akan tetapi dengan manhaj Jahmiyah dengan
mengingkari banyak sifat-sifat Allah dengan alasan mensucikan dan meniadakan tasybih
dari Allah, hal ini tidak sejalan dengan manhaj yang shahih yaitu manhaj salaf
shalih.
1)
Tokoh-tokoh Maturidiyah dan Ajaran-Ajarannya.
Setelah
Abu Mansur wafat, pemikiran-pemikirannya diwarisi dan diperjuangkan oleh
murid-muridnya dan orang-orang yang terpengaruh oleh pemikirannya, di tangan
mereka ini Maturidiyah membentuk diri sabagai aliran kalamiyah yang muncul
pertama kali di Samarkand. Murid-murid Abu Mansur mulai menyebarkan
pemikiran-pemikiran syaikh dan imam mereka, mereka menulis buku-buku demi itu,
hasilnya pemikiran-pemikiran Maturidiyah laku di negeri tersebut, hal ini
karena mereka terbantu oleh kesamaan dalam madzhab fikih yaitu madzhab Hanafi.
Salah
satu murid Abu Mansur adalah Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail al-Hakim
al-Samarqandi, wafat tahun 342 H, dia dikenal dengan al-Hakim karena hikmahnya
yang banyak dan nasihat-nasihatnya. Ada seorang murid lagi yaitu Abu Muhammad
Abdul Karim bin Musa bin Isa al-Bazdawi, wafat tahun 390 H, selanjutnya orang
ini memiliki seorang cucu yang menjadi salah satu pembawa pemikiran-pemikiran
Maturidiyah, dia adalah Abul Yasar al-Bazdawi Muhammad bin Muhammad bin
al-Husain bin Abdul Karim yang berjuluk al-Qadhi ash-Shadr, Syaikh madzhab
Hanafi di Bazdawah pada masanya.
Abul
Yasar ini belajar dari bapaknya yang belajar dari kakeknya Abdul Karim salah
seorang murid Abu Mansur, di samping dia membaca kitab-kitab ahli filsafat
seperti al-Kindi dan lainnya, dia juga mempelajari buku-buku Mu’tazilah seperti
al-Jubba’i, an-Nazham dan lain-lain. Dia juga mempelajari buku-buku Abu Musa
al-Asy’ari dan buku-buku Abu Mansur seperti at-Ta’wilat dan at-Tauhid.
Untuk buku yang terakhir ini dia memandang pembahasannya bertele-tele dan
menyulitkan serta penyusunannya yang tidak sistematis oleh karena itu dia
mengulang penyusunan dan pemaparannya agar lebih muda untuk dikaji, hal ini dia
tuangkan dalam bukunya Ushuluddin dengan beberapa penambahan darinya.
Abul Yasar wafat di Bukhara tahun 493 H dengan meninggalkan banyak murid, salah
satunya adalah Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, peletak sebuah buku dalam
akidah yang terkenal dengan al-Aqidah an-Nasafiyah.
Najmuddin
Umar an-Nasafi, bisa dikatakan, dia adalah pelopor Maturidiyah dalam bidang
karya tulis karena dia banyak menuangkan dasar-dasar akidah Maturidiyah dalam
buku-bukunya yang berjumlah besar, dia adalah Abu Hafsh Najmuddin Umar bin
Muhammad bin Ahmad bin Ismail al-Hanafi an-Nasafi, nisbat kepada Nasaf, sebuah
kota di antara Jaihun dan Samarkand. Najmuddin adalah julukannya.
Najmuddin
Umar an-Nasafi lahir di Nasaf pada tahun 462 H, dia terkenal dengan
syaikh-syaikhnya yang berjumlah besar mencapai lima ratus orang, di antara
mereka adalah Abul Yasar al-Bazdawi dan Abdullah bin Ali bin Isa an-Nasafi,
sebagaimana dia memiliki murid dalam jumlah besar pula, tidak hanya itu dia juga
memiliki karya tulis juga dalam jumlah besar yang menjadi buku induk dalam
menetapkan pemikiran-pemikiran Maturidiyah. Di antara buku-bukunya adalah Majma’
al-Ulum, at-Taisir fi Tafsir al-Qur`an, an-Najah fi Syarh Kitab Akhbar
ash-Shihah, buku ini adalah syarah dari shahih al-Bukhari, dan sebuah buku
dalam akidah yaitu al-Aqidah an-Nasafiyah, buku ini adalah ringkasan
dari buku at-Tabshirah karya Abu Muin an-Nasafi, buku ini adalah salah
satu buku terpenting dalam akidah Maturidiyah. Najmuddin Umar an-Nasafi wafat
di Samarkand pada malam Kamis, 12 Jumadil Ula 537 H.
Setelah
masa Najmuddin Umar an-Nasafi, Maturidiyah mengalami kemajuan dan perkembangan
yang berarti, hal ini karena mereka mampu meraih simpati para Sultan Daulah
Utsmaniyah yang berpusat di Turki, dan akhirnya para sultan tersebut menjadi
pendukung Maturidiyah sehingga pengaruh Maturidiyah menyebar ke negeri-negeri
yang dijangkau oleh kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Di masa ini muncul al-Kamal
bin al-Hammam penulis al-Muyasarah fi al-Aqa’id al-Munjiyah fi al-Akhirah
yang pada saat ini masih dijadikan sebagai buku wajib di sebagian universitas.
Di
masa kini pemikiran Maturidiyah banyak dianut di beberapa negeri kaum muslimin
khususnya di Turki, Afghanistan dan sekitarnya, Pakistan dan India. Di dua
negara yang terakhir ini ada beberapa madrasah yang mengusung
pemikiran-pemikiran Maturidiyah, salah satunya adalah madrasah Kautsariyah
yang dinisbatkan kepada syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Jarkasi al-Hanafi
al-Maturidi, wafat tahun 1371 H. Madrasah ini berciri khas mencela dan
menyerang para imam Islam, menurut mereka para imam Islam tersebut adalah mujassimah
dan musyabbihah yakni orang-orang yang menjasadkan dan menyerupakan Allah
dengan makhlukNya, hanya karena para imam tersebut menetapkan sifat-sifat Allah
sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah sesuai dengan pamahaman
salaf umat, mereka mengkategorikan buku-buku para imam Islam seperti at-Tauhid,
al-Ibanah, asy-Syariah,as-Sifat, al-Uluw dan buku para imam sunnah lainya
sebagai buku-buku watsaniyah (berhalawiyah). Madarasah ini juga getol berdakwah
kepada bid’ah-bid’ah syirkiyah seperti mengagung-agungkan kubur dan penghuninya
dengan kedok bertawasul.
B.
Teologi
Asy’ariyah dan Maturidiyah
1.
Teologi Asy’ariyah
a)
Definisi
Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah
aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak
kepada Abu al Hasan yang berdasarkan pengakuan secara teoritis pertama
berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur`an dan Al Hadits Al
Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal.Tujuan dari gerakan Asy’ariyah sama
dengan aliran maturidiyah adalah sebagai reaksi terhadap aliran mu’tazilah yang
dianggap tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.
b)
Doktrin-Doktrin
Teologi Asy’ariyah
1) Wujud
dan Sifat Tuhan
Para ulama ilmu Kalam,
baik Asy’ariyah maupun Mu’tazilah, dan para filosof, dalam pembahasan penting
ini menyepakati urgensi akal dalam menetapkan keberadaan Tuhan serta
menumbuhkan keyakinan kepada-Nya. Berbeda dengan ahl al Dzahir, para Mutakalimin
menyerahkan segala kemampuan logika mereka dalam menetapkan kebenaran tuhan
sebagaimana yang diinginkan dzahir teks agama. Dari sini, jelas Nampak adanya
keterlibatan manusia -atau setidaknya aspek kemanusiaan- dalam berbagai kajian
ketuhanan (Teologi).
Asy’ariyah, dengan gaya
ortodoksnya, mencoba menempatkan dirinya sebagai penengah (moderasi)diantara
dua aliran; yaitu Salafiyah danMu’tazilah.Namun, kajian teologis Asy’ariyah
–dengandidukung oleh silogisme Aristotelian atau logika formal-deduktif ditambah
dengan mengadopsi secara distorsif teori-teori filsafat natural
(tabhi’at)-malah pada akhirnya tidak menampilkan kajian teologisyang
empiris-metodologis. Bahayanya lagi, argumen-argumen Asy’ariyah dapat saja
mengalami eskalasi sehingga mencapai tingkat ‘ilhad’ (pengingkaran akan wujud
Tuhan) dan tajsim (antropomorfisme).
Dapat kita temukan
dalam alur pemikiran Asy’ariyah
adanya kesan ‘keterpaksaan’ dalam menggunakan teori-teori filsafat alam (natural philosophy) seperti teori al huduts (kebaharuan alam), al Imkan (probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal).
adanya kesan ‘keterpaksaan’ dalam menggunakan teori-teori filsafat alam (natural philosophy) seperti teori al huduts (kebaharuan alam), al Imkan (probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal).
Teori al huduts
menetapkan premis-premis logis bahwa alam itu hadis (baru; tidak qadim) karena
alam itu selalu berubah. Semua yang hadis pasti berasal dari muhdis
(pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis tersebut harus qadim, sebab kalau tidak ,
maka akan terjadi daur atau tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedangdalam
doktrin teologinya, daur dan tasalsul itu mustahil. Selanjutnya, Asy’ariyah
langsung menetapkan bahwa yang qadim itu adalah Tuhan.
Sedangkan teori al
imkan mengatakan, alam itu bersifatmumkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak.
Segalasesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat murajjih yang menyebabkan adanya
sesuatu itu dan ‘illat tersebut harus berakhir pada zat yang wajib al wujub (wajibada).
Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul, dan tasalsul itu mustahil. Maka
langsung ditetapkan bahwa wajib al wujub itu adalah Tuhan. Lain lagi dengan
teori Jauhar al fard Asy’ariyah menetapkan bahwa segala sesuatu itu terdiri
dari bagian-bagian atau ajzaa’, dan bagian-bagian ini akan sampai kepada bagian
yang terkecil (substansi akhir)yang tidak dapat terbagi bagi lagi, karena
selanjutnya dinamakan Jauhar al fard (substansi tunggal). Karena semua jauhar
tidak terlepas dari ‘aradl (sifat yanghadits), maka konklusinya semua jauhar
adalah hadits. Anehnya, beranjak dari premis-premis fisikal di atas, Asyariyah
mengadakan lompatan kepada kesimpulan metafisikal. Dalam artian, Asy’ariyah
berusaha menemukan dalil dari hal-hal yang natural untuk membuktikan sesuatu
yang natural.
Metodologi ini jelas bertentangan
dengan metodi empirisme ilmiah. Meskipun logika idealektik yang berusaha
dibangun oleh Asy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi argumen-argumennya
tetap saja membingungkan. Bagaimana mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam
itu hadits, Sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifattetap alam telah
berlangsung tanpa permulaan. Pada hakikatnya alam adalah qadim, dalam
pengertian bahwa Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan dasar,
dan jarak antara keberadaan Tuhan dan keberadaan alam tidak mungkin diukur
dengan waktu. Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhan dengan
alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidak lain adalah ‘illat atau sebab
keberadaan alam. TanpaTuhan alam tidak akan pernah ada.
Asy’ariyah dalam
logikanya mengambil kaidah “kunci” yaitu kemustahilan daur dan tasalsul. Apa
alasan Asy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Pada hakikatnya, daur dan
tasalsul itu hal yang wajar dan merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan
siklus dan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga manusia sanggup mengolah
dan memproses daur ulang alamini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan
ini hanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan dan menjadikan manusia pasif
dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits
oleh Asy’ariyah di identikan dengan hubungan mashnu’ dan shani’nya (pembuat dan
yang dibuat). Katanya alam ini adalah buatan Tuhan,sebagaimana kursi adalah
buatan tukang. Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akalmanusia sehingga
mengibaratkan Tuhan sebagai person (al Syakhsy) dan pada gilirannya menimbulkan
penafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiring dengan itu pula, penafsiran
fenomena alam dengan kaidah hadits-muhdits sama halnya merampas esensi alam tersendiri.
Dengan memahami hadits sebagai “sesuatu yang pada awalnya tidak ada kemudian
diadakan”menjadikan ketidak adaan sebagai standar keberadaan.
Ini menyebabkan alam
kehilangan esensinya dan memaksakan ketergantungannya kepada “sesuatu yang lain”
di luar dirinya. Akhirnya, realita dan subtansi alam ini akan hilang dan yang
tinggal bertahan dalam wujud nyata adalah alam metafisik yang pada hakikatnya tidak
nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya pun berlanjut pada manusia, dimana
menusia adalah unsur dan bagian utama di alam ini. Dengan hilangnya esensi alam,
maka manusia pun kehilangan esensinya dan manjadi wujud hampa tanpa arti.
Secara psikologis,
argumen tentang hudits-nya alam cukup membahayakan esistensi manusia tatkala
kita menerima hipotesa imajinatif tersebut, yaitu bahwa alam itu diadakan dari
tidak ada oleh sang muhdits, hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya
lemah dan tidak mampu melakukan perubahan dan pembaruan dalam kehidupannya di
alam ini. Sebab secara logis, segala bentuk perubahan, besar maupun kecil, semuanya
disandarkan pada kekuatan dan kemampuan sang muhdits, yaitu zat selain manusia.
Memang betul, manusia tidak menciptakan dirinya juga tidak mampu menciptakan
alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakahitu dimaksudkan agar manusia
melemahkan dirinya dan menggantungkan dirinya pada sesuatu kakuatan lain diluar
dirinya dan di luar alam ini. Sebenarnya, argument-argumen distorsif tersebut
berangkat dari landasan keimanan subyektif semata tidak dari tinjauan obyektif ilmiah.
.
Sesuatu argumen lagi
yang tidak kalah membingungkan, yaitu deskripsi Asy’ariyah tentang pembagian
sesuatu pada bagian-bagian tertentu dan berakhir pada jauhar fard. Perlu
dipertanyakan “bagaimana Asy’ariyah menetapkan dan membuktikan adanya sesuatu
yang disebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard tersebut pada kenyataannya
memang ada, atau hanya hipotesa imajinatif (al-wahm) semata yang ditujukan
untuk mengunggulkan eksistensi sang muhdits?
Pada hakikatnya ilmu
pengetahuan membuktikan bahwa alam itu tidak dapat dibagi-bagi kepada jauhar sebagaimana
anggapan Asy’ariyah. Alam itu tidak dapat dibagi dan diurai dalam bentuk
unsur-unsur dan penguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpa berhenti.
Kondisi ini sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan
penemuan-penemuan ilmiah. Jelasnya argumen Asy’ariyah tentang adanya jauhar
fard tidak lebih dari hipotesa imajinatif akal yang tidak faktual. Perlu
diketahui, bahwa makna wujud itu sendiri ada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat
dipahamibila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujud sesuatu adalah
adanya kemungkian pengetahuan terhadapnya.
Teologi yang dipelopori
oleh asy’ari dan di kembangkan oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak
agama didunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan Islam,yaitu yahudi
dan Kresten, sebegitu rupa. Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada pada sekarang
ini adalah adalah bahwa agama yahudi yang dalam bidang teologi telah mengalami
“pengislaman”,.
Di zaman Modern yang
pengetahuan semakin melimpah ruahini, ternyata teologi Asy’ari masih relefan
dalam bukuNur Khalis Madjid, Willian Craig, seorang tokoh ahli Filsafat Modern
dari Berkeley, California, Ilmu pengetahuan mutahir, khususnya teori-teori
tentang asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar dalam Astronomi
Modern sangat menujang argumen-argumen Ilmu kalam yang di kembangkan oleh
asy’ariyah.
2) Keadilan
Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema
sentral teologi Asy’ariyah, topik keadilan Tuhan (al ‘Adl)- dalam hal ini
adalah standar nilai kebaikan dan keburukan-menempati deretan yang paling
penting. Topik ini, disamping merupakan pembahasan yang cukup luas dan sangat
berkaitan dengan segi-segi fundamental dalam bangunan ideologi Islam,juga
sangat mempengaruhi corak perilaku umat penganutnya. Pada awal kemunculannya,
konsep ini hanya merupakan respons terhadap teologi Mu’tazilah yang ekstrem-rasionalistik.
Dan pada perkembangan selanjutnya, konsep keadilan Asy’ariyah ini tidak dapat
terhindar dari pengaruh-pengaruh Jabariyah (Fatalisme).
Asy’ariyah mencoba
menampilkan pemikirannya tentangkeadilan dengan beranjak dari konsep kemutlakan
iradah (keinginan) Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah menciptakan
kebaikan (al khair) dan keburukan (al syarr) serta sekaligus ‘menghendaki’
keberadaan keduanya sebagai dualisme nilai yang dianut manusia. Kemudian, dari
sisi lain mereka menegaskan bahwa kebaikan dan keburukan itu merupakan sesuatu yang
relatif- dalam artian, tidak ada sesuatu yang pada hakikatnya baik dan buruk-
dan selanjutnya mengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakan syara’
sebagai standar utama. Segala yang diakui dan dilegitimasi oleh syara’ sebagai
kebaikan, maka halitu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya, bahwa keburukan
hanyalah yang diakui oleh syara’ sebagai keburukan. Namun kalau demikian
halnya, bagaimana mungkin Asy’ariyah mengakui adanya nilai baik dan buruk dari
satu sisi dan mengingkari keberadaannya dari sisi lain?
Sesungguhnya,
argumentasi Asy’ariyah yang demikian ituhanya ditujukan untuk menolak pendapat
Mu’tazilah (ahlal ‘adl) yang menempatkan akal sebagai satu-satunya standar
nilai baik dan buruk. Dengan sangat responsif,mereka menegaskan bahwa syara lah
satu-satunya sumber nilai yang berwenang menentukan segalanya, dan dengan sendirinya
menafikan fungsi akal dalam menilai suatu perbuatan. Dengan kata lain, sebelum
syara’diturunkan, akal manusia tidak mampu mengetahui bahwa kejujuran adalah
baik dan bohong itu adalah buruk. Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia
untuk berbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongan tersebut, maka tentunya
hukum pun akan berubah, sesuatu yang awalnya buruk berubah nilai menjadi baik.
atau seandainya Tuhan melarang manusia untuk berlakujujur maka kejujuran akan
berubah menjadi perbuatantercela.
Untuk membuktian
kebenaran pendapatnya, Asy’ariyah beralasan bahwa akal manusia sangat relatif
dalam menilai sesuatu dan sangat dipengaruhi oleh unsur subyektivitas serta
kepentingan pribadi. Maka tanpa keterlibatan otoritas syara’, nilai kebaikan
dan keburukan akan sangat relatif. Secara global Asy’ariyah mengakui
relativitas akal manusia pada perbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat
dan aturan konvensional antar komunitas tertentu. Disamping itu, kenisbian
nilai moral merupakan dasar utama adanya perbedaan yang menyolok dalam berbagai
ajaran agama.
Sekilas nampak
kebenaran argumentasi diatas. Tapi sebaliknya argumen tersebut cukup keliru,
sebab pendapat yang mengatakan tentang kenisbian nilai moral tidak mutlak
benar. Para ahli telah mengakui adanya prinsip-prinsip moral dasar yang
selamanya sejalan dengan ketetapan-ketetapan syariat dan hukum konvensional.
Prinsip-prinsip dasar ini tidak mengalami perubahan sepanjang kehidupan
manusia. Dan manusia hanya berbeda dan berselisih sekitar hal-hal yang parsial
dan tidak prinsipil. Nilai dasar akan berubah jika dipengaruhi atau dituntut
oleh kondisi tertentu, yang pada hakikatnya bersifat temporal.
Kewenangan syara’ dan
pengosongan nilai yang dilakukan Asy’ariyah pada setiap perbuatan manusia dapat
menyebabkan kekacauan dan pertikaian antar individu yang memperjuangkan
kepentingan tertentu. Pihak-pihak penguasa tentu saja dapat mempolitisir dan melegitimasi
ketetapan syara’ untuk kepentingan-kepentingan pribadinya atau kepentingan golongan
tertentu. Dan di sisi lain, pihak yang lebih lemah terpaksa harus mengakui
‘kebenaran’ yang diperbuat oleh pihak penguasa. Sebagaimana yang telah
disebutkan diatas, teologi Asy;ariyah adalah teologi moderasi atau penengah
antar dua ekstermitas. Dalam konteks ini, Asy’ariyah menampilkan teori Kasb
sebagai ‘pelarian’ dari kekuatiran mereka dari otoritas akal manusia dari
satusisi dan sifat fatalisme dari sisi lain.
2.
Teologi Maturidiyah
a)
Definisi
Maturidiyah
Maturidiyah adalah
aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak
kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah
penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan
hakikat agama dan akidah Islamiyyah.
1)
Doktrin-Doktrin
Teologi Maturidiyah
(a)
Akal dan Wahyu
Al-Maturidi dalam
pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an dan akal, akal banyak digunakan
diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut
Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan
agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya
terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah
tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau
menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti
ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut
Namun akal, menurut Al-Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang
lain.
Dalam masalah amalan
baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu
terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah
hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia
mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini,
wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan
sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui kebaikan sesuatu itu,Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
keburukan sesuatu itu,Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu,
kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui
kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun
tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah
berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
(b)
Perbuatan
Manusia
Perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya.
Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah
mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar
kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini
Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai
pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri
manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan
sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian
daya ini Al-Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah
(kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan
baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang
diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak
dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah,
dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
Kekuasaan dan Kehendak
Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas
menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk.
Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Allah berbuat sekehendak dan
sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenag-wenang (absolute), tetapi
perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan
yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
(c)
Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai
sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula
lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat
tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak
berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa
kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
(d)
Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan
bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam Al-Qur’an:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
|
||
Artinya
|
:
|
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada
hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
(Q.S Al-Qiyamah : 22-23)
|
Lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan
mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat
tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
(e)
Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan
antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat
qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah
baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana
Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima
pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi
lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan
Al-Qur’an.
(f)
Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas
kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali
karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap
perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan
membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak
sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam
kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
(g)
Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul
berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di
luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah,
yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
(h)
Pelaku Dosa
Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia
mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan
balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi,
iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan
iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya
menambah atau mengurangi sifatnya.
(i)
Iman
Dalam masalah iman,
aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb,
bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an:
* ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôt ß`»yJM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur w Nä3÷GÎ=t ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ
|
||
Artinya
|
:
|
Orang-orang Arab Badui itu berkata:
"Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi
Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Q.S Al-Hujurat : 14)
|
Ayat tersebut difahami
sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh
qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidi mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Baqarah
ayat 260 :
øÎ)ur tA$s% ÞO¿Ïdºtö/Î) Éb>u ÏRÍr& y#ø2 Çósè? 4tAöqyJø9$# ( tA$s% öNs9urr& `ÏB÷sè? ( tA$s% 4n?t/ `Å3»s9ur £`ͳyJôÜuÏj9 ÓÉ<ù=s% ( tA$s% õãsù Zpyèt/ör& z`ÏiB Îö©Ü9$# £`èd÷ÝÇsù y7øs9Î) ¢OèO ö@yèô_$# 4n?tã Èe@ä. 9@t6y_ £`åk÷]ÏiB #[ä÷ã_ ¢OèO £`ßgãã÷$# y7oYÏ?ù't $\÷èy 4 öNn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# îÍtã ×LìÅ3ym ÇËÏÉÈ
|
||
Artinya
|
:
|
Dan (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata:
"Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?"
Ibrahim menjawab: "Aku Telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku
tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah
empat ekor burung, lalu cincanglah[165] semuanya olehmu. (Allah berfirman):
"Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari
bagian-bagian itu, Kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu
dengan segera." dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
(Q.S
Al-Baqarah : 260)
|
Dalam ayat tersebut,
bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar
keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal.
Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan
iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan
Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui
segala pokok ajaran islam secara verbal.
2)
Golongan-Golongan
Teologi Maturidiyah
(a)
Golongan
Samarkand
Yang menjadi golongan
ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke
arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam
hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah
yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan
memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
(b)
Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin
oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang
penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi
salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah
pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.
Walaupun sebagai
pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi.
Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan
hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang
di kalangan umat islam.
C.
Persamaan
dan Perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
1.
Pandangan
Mengenai Asy’ariyah dan Maturidiyah
Memang
dalam realitanya adala perbedaan antara pemikiran Al- Asy Arie dengan Al
Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan dapat
dikatakan bahwa antara Asy’ariyah dan Maturidiyah nyaris meiliki kesamaan kalau
tidak bisa di sebut sama.
Bahkan
Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan Al
Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun
hanyalah perbedaan kata-kata[iii].
Akan tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah
maka perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat
dipungkiri bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat
tuhan yang terangkum dalam al- Qur’an secara rasional dan logis. Keduanya
memberikan porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Qur’an
dibandingkan yang lainnya. Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah wajib
dengan syar’i sedangkan Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa akal berperan
penting dalam konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh perbedaan
keduanya.
2.
Perbedaan
dan Persamaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
a)
Persamaan
1) Kedua
aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
2) Mengenai
sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan
pengetahuan-Nya.
3) Keduanya
menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan
beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi
bersifat qadim.
4)
Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari
kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan
sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an: “Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada
Tuhannya mereka melihat.”(Al-Qiyamah: 23)
5) Persamaan
dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu
sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab
salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari an
Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah
adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika
dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah
dan Maturidiyah
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan
: “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan
dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan Al-Maturidi
b)
Perbedaan
1) Tentang
perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan Al-Maturidi
menganut paham Qadariyah.
2) Tentang
fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan.
3) Tentang
Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa
orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan
Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala
sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah
karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Ternyata teologi
Asy’ariyah dan Maturidiyah belum manpu menawarkan ideologi alternatif dalam
upaya mengubah umat dan menggerakkan roda peradaban Islam ke ambang kecerahan,
sehingga mapu mensejajarkan dirinya dengan perdapan-peradaban yang lebih maju.
Walau tidak biasa dipungkiri bahwa kedua teologi ini telah ikut menghiasi
perjalanan umat Islam menuju sebuah peradaban yang baru tapi pertentangan
antara kedua teologi ini dengan teologi-teologi lainnya malahan menambah
kebingungan dalam masyarakat.
B.
Kritik
dan Saran
Apakah perubahan-perubahan positif dan
fundamental akan terjadi dan langsung sebagaimana mestinya sementara kita masih
“mengkulturkan” antara kedua teologi ini sebagai satu-satunya teologi yang
paling absah? Bagaimana mungkin mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern di saat kita menyakini tidak adanya korelasi yang jelas antara teori dan
metode penerapan ilmu itu sendiri? Kita sering beranggapan bahwa bagaimana
usaha manusia dalam berfikir dan menganalisa fenomena-fenomena alam, manusia
harus mananti dan menunggu “ilmu” yang datang dari “sumber lain”, berupa Ilham,
wangsit dan sebagainya, Sangat tidak logis bila kita membatasi kapabilitas akan
manusia dan meletakkanya di bawah kekuasaan naql (teks-teks suci) dalam konteks
masyarakat yang masih mengalami krisi inteltual dan rasionalitas.
Pada intinya kita harus semakin kritis terhadap berbagai teologi dan
ijtihad yang diwariskan para pemikir Islam. Supaya kelak akan muncul suatu
peradaban dimana Islamlah yang bertindak sebagai pemimpinnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Sulaeman, M.Ag. 2010. Filsafat
Islam. Kuningan : Mayasih Press
Ahmad, Muhammad. 1998.Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka
Setia.
Asy-Syahratnasy. Al- Milal wa An-Nihal. Beirut: Darul
Fikr.
Mahmud Qasim. 1969.Fi Ilm Al-Kalam.Kairo: Maktabah al-Anglo
al-Maishriah.
Mubarok, Jaih. 1999. Metodologi
Studi Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nasution, Harun. 1986. Teologi
Islam. Jakarta: UI Press.
Rozak, Abdul dan
Rosihon Anwar. 2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Sodikin, Abuy. 2000. Metodologi
Studi Islam. Bandung: Tunas Nusantara
Mu’in, M. Taib Abdul, Ilmu Kalam,Jakarta : Widjaya, 1997
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, [terj]
Penerjemah Pustaka Firdaus, Penyunting Sutarji Calzhoum Bachri, dari Berbagai
sumber, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997)